Karakter yang melekat pada masyarakat urban adalah keikutsertaan mereka dalam berbagai program dan kegiatan yang digagas oleh pemerintah. Meskipun hanya sebagian kecil, paling tidak setiap partisipasi warga kota dalam beberapa hal menjadi alasan bagi pemerintah untuk selalu mengajak warga membangun kolaborasi, kerja sama, dan koordinasi.
Desentralisasi telah membuka ruang gerak dan keleluasaan bagi setiap unsur masyarakat dalam mengaktualisasikan gagasan dan ide-ide genuine mereka. Komunitas-komunitas didirikan dengan berbagai karakter dan bidangnya menjadi pertanda baik bagi kemajuan transparansi dan kemerdekaan sebagai ciri penting demokratisasi masih berjalan. Demi melihat beberapa fakta menarik ini, pemerintah pusat sampai daerah secara sukarela membuka diri membangun konstelasi pentahelix, salah satunya dengan mengajak kehadiran dan keterlibatan komunitas dalam setiap kebijakan pembangunan perkotaan.
Sebelumnya, dua setengah dekade lalu, keterlibatan dan peran komunitas -dalam hal ini warga suatu kota- mungkin hanya menyentuh bidang tertentu yang dipandang tidak strategis. Misalnya, di era Orde Baru, selama tiga dekade lebih, komunitas hanya diterjunkan pada proyek pembangunan wilayah dengan cakupan sempit, hanya sampai pada pelaksana dalam pengerjaan pembangunan irigasi, jalan lingkungan, dan fasilitas umum melalui proyek padat karya. Komunitas tidak dilibatkan sepenuhnya dalam perencanaan pembangunan itu sendiri.
Keterlibatannya juga hanya diwakili oleh para stakeholders wilayah, ketua RT, ketua RW, dan LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) sebelum berganti menjadi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Kebijakan top-down pemerintah saat itu telah membangun garis komando yang cukup efektif dalam mengatur tatanan.
Pemerintah sentralisasi Orde Baru menjadi bagian penting dalam sejarah kehidupan bangsa. Dan ini merupakan hal wajar, untuk membangun tatanan yang kondusif dan mapan setelah bangsa ini melalui fase perjuangan dan revolusi, maka diperlukan satu garis komando yang tegas agar setiap kebijakan dapat direalisasikan secara berjenjang. Pemerintah Daerah menjadi penyelenggara dan pelaksana setiap regulasi, tidak berhak memodifikasi apalagi melakukan manuver bebas dalam menerjemahkan kebijakan pembangunan yang telah digariskan setiap lima tahun sekali dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Terlepas dari pandangan politis, sejauh ini, Orde Baru telah berhasil di satu sisi, menata kehidupan dan menciptakan kondusifitas warga negara yang masih memerlukan pendefinisian tentang arti dari “membangun negara”. Babak sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara kita memang seperti ini, setiap masa atau periode memiliki cara tepat dalam menyelesaikan persoalan dan permasalahan yang dihadapi. Cara yang ditempuh oleh Orde Baru, tidak relevan jika diterapkan saat ini, begitu juga cara terbuka seperti yang kita gunakan saat ini akan tampak bertolak belakang dan tidak tepat jika diterapkan di masa Orde Baru.
Kolaborasi dan Koordinasi Menjadi Lebih Penting
Awal gerakan reformasi dialami langsung oge generasi baby boomers dan generasi X. Mereka menjadi saksi nyata masa transisi dari sentralisasi ke desentralisasi, dari Orde Baru yang akhirnya menyerah sebelum negara ini jatuh ke dalam bentuk pemerintahan tirani kepada kedaulatan rakyat. Negara dan kedaulatannya kembali diserahkan kepada rakyat.
Reformasi merupakan satu gerakan yang digagas oleh sejumlah tokoh nasional dan mahasiswa telah membuka cara baru bagi rakyat dalam mengemukakan alasan dan pandangan mereka secara mandiri. Awalnya, gerakan ini harus ditebus oleh harga yang sangat mahal, mulai dari kerusuhan massal, gegar budaya, keran kebebasan tiba-tiba terbuka lebar menggelontorkan –bukan sekadar arus informasi yang jernih– juga berbagai sampah informasi yang diproduksi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Selama tiga dekade lebih, informasi tidak mudah diterima begitu saja oleh masyarakat kecuali harus melalui sejumlah penyaringan dan sensor. Di awal reformasi, rakyat menjadi lebih mudah menerima informasi, makna-makna lugas tentang krisis multidimensi, dan kisah-kisah KKN yang dilakukan oleh para kroni Orde Baru. Soeharto (alm) mungkin patut bersyukur terhadap gerakan yang mencegah dirinya terjebak oleh bisikan untuk melanggengkan kekuasaannya. Situasi ini mirip dengan era vivere pericoloso Orde Lama ketika Bung Karno menobatkan dirinya sebagai Presiden Seumur Hidup.
Perjalanan reformasi menjadi lebih menarik jika dilihat dari berbagai perspektif. Hal signifikan darinya, reformasi telah membuka peluang besar bagi rakyat untuk mengaktualisasikan diri secara tepat bahwa mereka benar-benar berdaulat, memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban, dapat ikut berperan dalam sektor-sektor vital dan strategis, serta memiliki kebebasan menjadi apa dan siapa saja. Bukan hal aneh, sejak Pemilihan umum 1999, kita dapat menyaksikan, warga masyarakat yang sebelumnya tidak memiliki akses terhadap lembaga-lembaga vital, tiba-tiba menjadi anggota DPR dan DPRD.
Semula, reformasi tampak memiliki kerangka yang rapuh dan keropos. Ini dapat dilihat dari kasus-kasus yang terjadi di negara ini dengan leluasa dapat kita saksikan melalui tayangan televisi, reportase media cetak, dan warta di radio. Dari tahun 2004 hingga 2010, masyarakat dapat menyaksikan berita kriminal di televisi. Kriminalitas seolah tidak pernah dilakukan oleh orang-orang Timur, namun pada dekade pertama reformasi, adat ketimuran tiba-tiba seperti tergantikan oleh sikap barbar para penjahat.
Di tingkat wilayah, seperti Kota Sukabumi, awal reformasi dicirikan oleh perubahan-perubahan berarti. Warga kota mulai membangun komunitas sebagai aplikasi dari kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Bukan hanya komunitas, berbagai lembaga pendidikan, sosial, dan kemasyarakatan juga berdiri di banyak tempat. Masyarakat mulai memahami keterlibatan mereka tidak sekadar sebagai pelaksana, namun dapat juga menjadi penerima anggaran-anggaran dari pusat secara langsung.
Dekade pertama reformasi belum dapat dikatakan sebagai era media sosial. Meskipun sudah ada, media sosial belum digunakan secara massif seperti sekarang. Walakin, informasi mengenai kebijakan pemerintah sudah dapat diterima oleh masyarakat melalui tokoh-tokoh sentral atau para inohong yang menerima informasi lebih, entah dari media atau dari pemerintah. Para stakeholders dapat menggali potensi wilayah dan menyuarakannya saat pelaksanaan musyawarah rencana pembangunan kelurahan atau desa. Artinya, warga memiliki peran vital mengemukakan keinginan menganai: harus diapakan wilayahnya oleh mereka sendiri.
Dua puluh tahun lalu, Pemerintah Kota Sukabumi dipimpin oleh H.M Muslikh Abdussyukur telah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD). Rencana ini merupakan dokumen penting bagi Kota Sukabumi dalam pembangunan tiga sektor kehidupan; pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Pada tahun 2004, kemungkinan besar penyusunan RPJPD tidak melibatkan partisipasi warga kota secara holistik, mengingat beberapa hal; Pertama, pemilihan kepala daerah saat itu masih dipilih oleh anggota DPRD, maka hal-hal vital seperti perencanaan pembangunan kemungkinan besar cukup dengan melibatkan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan stakeholders tertentu.
Kedua, komunitas yang terlibat dalam pembangunan wilayah perkotaan masih diisi oleh orang-orang tertentu. Generasi Y sebagai komunitas milenial baru menginjak usia 4 sampai 5 tahun. Hakikatnya, komunitas-komunitas yang berdiri saat itu masih diisi oleh generasi baby boomers yang mulai memasuki usia senja dan generasi X yang sedang menjalani usia produktif dengan mentalitas menggebu-gebu. Meskipun partisipasi warga tidak mewarnai rencana pembangunan jangka panjang, setidaknya RPJPD ini dapat diturunkan melalui rencana jangka menengah dan pendek melalui visi dan misi kepala daerah berikutnya.
Saat ini, era keterbukaan tidak lagi sekadar wacana, pemerintah telah membuka tangan lebar-lebar agar dirinya dirangkul oleh siapapun. Generasi baby boomers telah memasuki era istirahatnya, generasi x telah matang dalam hal pemikiran, generasi Y dan Z telah mulai mengaktualisasikan potensi dirinya. Maka, rencana pembangunan kota juga harus melakukan adaptasi. Pemerintah Kota Sukabumi menawarkan ajakan penting kepada warga kota untuk berpartisipasi dalam memberikan ide, gagasan, saran, dan pandangan selama penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Tahun 2025-2045.
Untuk menyongsong Indonesia Emas 2045, diperlukan rencana matang, tidanaan terukur, dan regulasi yang tepat dalam keberlanjutan pembangunan Kota Sukabumi. Keterlibatan warga Kota Sukabumi menjadi kunci, komposisi dan postur RPJPD dapat diandalkan sebagai pedoman membangun dan memajukan Kota Sukabumi.
Dimuat Radar Sukabumi, 10 Oktober 2023
Posting Komentar untuk "Partisipasi Warga Kota Sukabumi dalam Penyusunan RPJPD 2025-2045"