109 Tahun Kotaku: Periode Awal hingga Pertengahan



Judul tulisan ini bukan berarti saya ingin memosisikan diri sebagai pemilik satu-satunya Kota Sukabumi. Hal tersebut untuk menunjukkan bahwa setiap individu yang berdomisili di Kota Sukabumi benar-benar memiliki kemelekatan dengan kotanya sendiri. Pengakuan kotaku tidak ditujukan untuk saya secara pribadi, juga dapat dilakukan oleh warga Kota Sukabumi.

Secara administratif, keberadaan Kota Sukabumi sudah menginjak usia satu abad lebih. Kendati demikian, pengakuan Sukabumi secara de facto memang telah ada jauh sebelum Kota Sukabumi ditetapkan sebagai kotapraja pada tahun 1914. Keberadaan Sukabumi secara de facto ini telah menginspirasi banyak pihak untuk merekonstruksi hari jadi dan hari kelahiran wilayah yang membentang dari kaki Gunung Gede hingga pesisir Samudra Hindia secara keseluruhan.

Keinginan merekonstruksi awal mula kelahiran sebuah wilayah ini dapat saja didasari oleh pandangan: semakin tua umur sebuah tempat akan berbanding lurus dengan tingkat kematangan setiap entitas yang ada di wilayah tersebut. Alasan lainnya, kelahiran sebuah wilayah serupa dengan kelahiran manusia atau para penghuni kota tersebut. Penetapan hari lahir seseorang sudah tentu didasarkan atas tanggal dan waktu kelahirannya, tidak didasarkan atas tanggal seseorang memiliki dokumen resmi kependudukan.

Hal paling penting mengenai usia sebuah wilayah, seperti telah saya sebutkan di awal tulisan yaitu tentang kematangan entitas-entitas yang ada di wilayah tersebut. Sembilan tahun lalu, jika penetapan hari jadi Kota Sukabumi didasarkan atas dokumen resmi pemerintah, kota ini sudah mencapai usia emas (100 abad). Usia emas selalu dikaitkan dengan kebaikan; pertumbuhan ekonomi, kemakmuran warga, kecerdasan pemikiran, dan kedaulatan pendidikan.

Apakah kebaikan-kebaikan yang telah saya sebutkan di atas telah mewujud di Kota Sukabumi? Apakah potensi-potensi warga kota sebagai unsur terpenting sebuah kota telah tersalurkan dan mendapatkan apresiasi dari warga lain? Atau, dari tahun ke tahun sejak ditetapkan sebagai sebuah Kotapraja, Kota Sukabumi biasa-biasa saja, tidak pernah mengalami kemajuan signifikan atau penurunan berarti, dalam terma keislaman disebut dengan “laa yamuutu fiiha walaa yahyaa..” mati tidak hidup tidak? Apakah Kota Sukabumi dari waktu ke waktu seperti yang disebutkan dalam peribahasa Sunda memperlhatkan kondisi: ka handap teu akaran, ka luhur teu sirungan, atau mengalami stagnasi?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut memerlukan kajian serius melalui penelitian agar didapatkan jawaban yang utuh tentang kondisi sebuah kota yang kompleks, beragam, dan heterogen. Walakin, melalui tulisan ini, secara umum saya akan memberikan pemaparan perjalan Kota Sukabumi dari masa-masa dalam kerangka sejarah singkat untuk kita renungkan dan menjadi landasan berpijak bagi peneliti-peneliti sosial yang konsen dengan permasalah dunia urban.

Kota Sukabumi sebanding dengan daerah lainnya setelah ditetapkan sebagai sebuah Kotapraja pada 1 April 1914. Bahkan, tidak berbeda dengan kondisi sebelum ditetapkan secara administratif legal formal. Saat alam pikiran kita memasuki Sukabumi masa lalu, informasi yang disampaikan ke dalam diri kita yaitu; kontur alam khas wilayah tropis, diselimuti oleh unsur-unsur nabati, udara sejuk, kehidupan masyarakat bersifat komunal, pedesaan dan pemukiman mulai menyebar dari arah Cikole ke Selatan di awal abad ke 19, pertanian menjadi sumber utama mata pencaharian masyarakat.

Kendati berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda, sebagian warga masyarakat mengidentikkan masa dari tahun 1900 sampai dengan 1925 sebagai “zaman normal”. Disebut era normal ini tidak merujuk pada sikap rela warga kota berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda, melainkan masa ini merupakan era pra-resesi global melanda dunia pada 1930. Gerakan masyarakat yang menuntut kemerdekaan Indonesia di Sukabumi memilih langkah kooperatif dengan Belanda. Artinya, mereka memandang tidak semua kebijakan Belanda benar-benar merugikan masyarakat. Alih-alih melawan, kondisi ini justru telah dijadikan celah oleh para tokoh gerakan untuk memasuki wilayah pemerintah secara sah.

Jepang menjadi raja Asia setelah menjadi negara Asia paling dominan selama perang Asia-Pasifik, kemenangan sementara atas negara-negara sekutu telah memaksa birahi dan syahwat fasisme melakukan kooptasi terhadap negara-negara yang sebelumnya dikuasai oleh sekutu, termasuk Indonesia. Jepang melucuti dan mendeportasi pasukan serta sipil Belanda dari Indonesia pada tahun 1942.

Kehadiran tentara Jepang semula diterima oleh Indonesia karena mereka memamerkan sebuah propaganda berakronim 3A. Propaganda yang dipublikasikan oleh orang-orang yang menyebut dirinya sebagai saudara tua dan saudara satu benua ini tentu akan dipercaya sepenuhnya oleh orang-orang Indonesia. Di samping itu, kemenangan Jepang terhadap sekutu semakin mengukuhkan pandangan bahwa negara Asia juga dapat mengalahkan pasukan sekutu, tidak ada bangsa superior dan inferior dalam kondisi perang.

Tidak jauh berbeda dengan wilayah lain, Kota Sukabumi memiliki pengalaman pahit selama masa pendudukan Jepang. Kelaparan sebagai dampak dari sikap rakus para tentara Jepang dan dehumanisasi para tentara fasis kepada perempuan-perempuan negeri semakin mengukuhkan pikiran bawa era pendudukan Jepang sebagai masa paling mengerikan dalam sejarah kota ini. Beberapa penyakit dengan varian baru dan belum pernah terjadi sebelumnya dialami oleh penduduk Sukabumi, misalnya penyakit gatal-gatal yang disebabkan oleh kutu atau tuma. Warga kota diharuskan menggunakan sarung dari karet untuk menghindari penularan penyakit kulit akibat kutu ini.

Hal yang paling dapat menghubungkan kehadiran Jepang dengan Kota Sukabumi yaitu pembuatan goa dan semacam gudang persenjataan jepang di daerah Kibitay. Toponimi daerah ini berakar dari kata Kempetai (tentara Jepang) yang sering mondar-mandir melintasi jalan dari arah Jl. Pelabuan (sekarang Pasar Juara Lembursitu) melalui Bojongloa hingga bantaran sungai Cimandiri. Wilayah antara Kibitay, Wangunreja, hingga Cipeueut merupakan daerah perkebunan yang pernah dikelola oleh Belanda. Bahkan, dari beberapa sumber, di daerah ini pernah dibangun pasar mingguan, kemudian dibumihanguskan oleh Jepang.

Di balik peristiwa yang kasat mata dalam bentuk realitas sosial, kita sebetulnya diharuskan mengungkapkan juga peristiwa tak kasat mata atau luput dari catatan sejarah kendati berdasarkan asumsi. Misalnya, saat pertama kali Jepang menduduki Kota Sukabumi, bagaimana situasi yang terjadi di pusat pemerintahan kota, Balai Kota Sukabumi saat itu? Dapat diprediksi, selama masa peralihan tersebut banyak dokumen dan barang penting dilarikan atau disembunyikan oleh para pegawai Balai Kota. Asumsi ini belum pernah mengemuka apalagi ditelusuri secara serius oleh pemerintah kota sendiri.

Kekalahan Jepang pada tahun 1945 membuka kembali cakrawala negeri ini. Kemerdekaan telah diraih, dari pusat hingga daerah larut dalam ingar-bingar kumandang kemerdekaan, terbebas dari belenggu penjajah. Warga Kota Sukabumi mengharu biru dalam sukacita. Dan setelah dua tahun berlalu, revolusi fisik terjadi di Sukabumi. Babak baru perlawanan warga Sukabumi terhadap tentara sekutu yang dibonceng oleh Belanda untuk mengambil kembali harta karun mereka di setiap daerah. Bagi para ekspatriat Belanda yang telah dipulangkan ke negara asalnya, kekalahan Jepang membuka kembali harapan, mereka bisa kembali ke Hindia Belanda. Bagi Belanda, Nusantara merupakan permata yang paling berharga seperti sering diungkapkan oleh Wilhelmina sendiri.

Pengeboman secara bombastis terhadap wilayah Sukabumi telah memunculkan kebencian warga terhadap Belanda dan pasukan sekutu. Perlawanan tentara Sukabumi dari berbagai laskar menjadi catatan tersendiri bahwa jalur sepanjang Bojongkokosan sampai perbatasan Cianjur merupakan palagan pertempuran, penentuan dalam menjaga kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan. Dan tentara Sukabumi telah berhasil melakukannya. Untuk sesaat warga kota di pusat kota dapat melanjutkan kembali aktivitas keseharian.

Tidak menunggu waktu lama, ledakan pemberontakan terjadi di dalam tubuh anak negeri. Pemberontakan oleh DI/TII telah mewujud menjadi faksi tersendiri, kelompok perampas properti masyarakat, perampok, pembunuh, dan penebar teror. Mereka disebut sebagai kaum “gerombolan/gorombolan” oleh masyarakat Sukabumi. Aktivitasnya kerap membuat hoaks dan wacana propaganda, meneror mental warga, dan ini terjadi di wilayah perkampungan. Jika sebelumnya, warga kota harus was-was kehilangan kedaulatan mereka karena agresi militer, warga perdesaan menjadi was-was karena kegiatan kaum gerombolan, perampok berkedok agama.

Periode dari tahun 1948 masa diproklamasikan Negara Islam Indonesia oleh Kartosuwiryo beririsan dengan gemerlap perpolitikan pusat, PKI semakin kokoh dan tampil sebagai peraih suara signifikan dalam pemilu 1955. Kantong suara PKI di Sukabumi tersebar di wilayah-wilayah peripheral perbatasan antara perkotaan dengan perdesaan. Secara otoritatif, PKI tidak memiliki kader dominan di Sukabumi, hanya saja muatan kampanye yang dilakukan oleh PKI mengenai kesejahteraan rakyat, sama rata sama rasa, keberpihakan terhadap rakyat jelata telah memikat masyarakat untuk memilih partai berlambang palu arit simbol gerakan kaum Bolshevik Soviet ini.

Saat itu, Kota Sukabumi dipimpin oleh seorang priyayi asal priangan bernama R. Soebandi Prawiranata. Karakter kepemimpinan para Wali Kota Sukabumi memiliki kemiripan, karena mereka rata-rata berllatar belakang priyayi, tegas, berwibawa, tidak mudah terperosok dalam persekongkolan, dan tidak baperan. Hal ini menjadi alasan, siapapun atau partai politik apa saja yang ingin berkuasa dan menguasai masyarakat saat itu harus memiliki jaringan hingga ke wilayah kekuasaan daerah. Beruntung, hal ini tidak dilakukan oleh PKI di Kota Sukabumi. PKI justru mengampanyekan perlawanan terhadap kemewahan para pejabat yang sewenang-wenang menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi dan keluarga.

Kita harus jujur, fenomena flexing atau pamer kekayaan jarang terjadi di masa Orde Lama. Pamer kemewahan justru sering terjadi di masa pemerintahan Hindia Belanda dan ini dilakukan oleh kaum aristokrat Indonesia yang merasa diri harus mengimbangi kemewahan orang Belanda. Kaum Menak memiliki sisi gelap tersendiri dalam perjalanan sejarahnya. Fenomena flexing jarang muncul dan dilakukan oleh pejabat setelah Kemerdekaan apalagi oleh para pejabat dengan latar pejuang dari laskar rakyat.

Propaganda PKI tentang borjuisme yang dilakukan oleh pejabat pada akhirnya tidak terlalu dihiraukan oleh sebagian besar masyarakat, karena faktanya, para pejabat di masa Orde Lama lebih mengedepankan sikap sederhana dan menampilkan hal biasa-biasa saja tidak jauh berbeda dengan tagog masyarakat biasa. 

Di samping itu, kegagalan PKI di wilayah Pasundan tidak lepas dari sosial kultural masyarakat Sunda yang masih memegang pakem leluhur (karuhun) mengenai sikap silih asah asih asuh. Tiga tetapan ini tidak akan pernah mentolerir sikap biadab apalagi terhadap tindakan sadis PKI yang telah melakukan beberapa kegiatan dehumanisasi di wilayah Sukabumi, misalnya di Cipeuncit. PKI juga telah meneror tokoh masyarakat dan ajengan sebagai setan desa, mereka telah membuat sumur-sumur yang disiapkan untuk mengubur lawan politik mereka jika pemberontakan PKI mendulang kesuksesan.

Kota Sukabumi terus melakukan transformasi peradaban sejak era kolonial hingga menjelang keruntuhan Orde Lama. Daerah yang berada di Tatar Sunda ini, masih memperlihatkan kehidupan warga kota sampai saat itu masih mempertahankan tetapan-tetapan para leluhur untuk menjaga kelangsungan hidup dan selaras dengan alam. 

Orang Sukabumi merupakan tipikal manusia yang sulit diadu domba apalagi dihasut untuk melakukan tindakan anarkis. Hal ini disebabkan oleh cikal bakal orang-orang Sukabumi merupakan kelompok masyarakat yang lebih banyak menghindari kekisruhan politik di masa lalu, kekisruhan perang saudara antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya. Sikap ini selaras dengan ungkapan para leluhur Sunda: teu hayang riweuh ku pasualan dunya! (Kang Warsa)

(Bersambung)

Posting Komentar untuk "109 Tahun Kotaku: Periode Awal hingga Pertengahan"