Ajaran agama dengan basis transendental telah ditransformasikan oleh para rasul ke dalam bahasa profan agar membumi hingga dapat dicerna oleh manusia. Ciri khas dan karakter ajaran agama –salah satunya– tidak rigid, melainkan dapat berpadu dengan tradisi sebagai hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia. Bahkan, beberapa tradisi dan hasil pemikiran manusia yang tidak bertolak belakang dengan kebaikan telah diformulasikan oleh para sarjana dan ulama muslim ke dalam fikih.
Dalam Islam, wahyu yang berisi perintah mendirikan salat telah diinterpretasikan oleh Rasulullah melalui hadits-haditsnya, yang pada perkembangan berikutnya dijadikan rujukan yurisprudensi hukum Islam oleh para ulama. Walakin, spektrum agama tidak hanya ritual yang dibahas dan dikaji di dalam fikih, cakupannya begitu luas sesuai dengan konsep kaffah berarti melingkupi segala hal. Keluasan ajaran agama ini ditujukan agar Islam dapat dipraktikkan oleh para penganutnya berdasarkan kekuatan daya serap dan nalar mereka.
Fikih mewajibkan puasa Ramadhan berdasarkan pada dalil naqli dan sunnah yang telah dipraktikkan oleh Rasulullah bersama para sahabatnya. Praktik ibadah puasa kendati di masa formatifnya berasal dari tradisi yudaisme atau tradisi dari orang-orang terdahulu (min qoblikum) merupakan salah satu pokok atau rukun dalam Islam. Para ulama tasawuf tampak lebih khusus dalam memberikan definisi dan batasan yang lebih ketat terhadap puasa dari pada para ulama fikih.
Bagi manusia yang telah melakoni jalan sufisme, puasa telah diberi makna bukan sekadar menahan lapar dan dahaga saja, juga harus mampu menahan ambisi, nafsu, angkara, syahwat, dan keinginan yang menggebu-gebu terhadap sesuatu. Karena tujuan utama dalam berpuasa yaitu membentuk manusia yang tangguh dan kokoh, sesuai dengan kata taqwa yang berasal dari kata QWY, berarti memiliki kekuatan.
Antara praktik dengan tujuan dari puasa nampak paradoks. Puasa merupakan ibadah yang dilalui melalui pengosongan perut, menghindari makan, minum, dan bersetubuh, dalam praktiknya sudah tentu pelaku ibadah ini akan mengalami kekurangan energi, hingga lemah. Namun, tujuannya justru untuk membentuk manusia-manusia yang kokoh, kuat, dan memiliki imunitas mental spiritual.
Paradoksal antara praktik puasa dengan tujuannya telah tercatat dalam sejarah Islam. Pasukan Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa di musim panas, tubuh mengalami dehidrasi namun diperintahkan menghadapi pasukan Quraisy Mekah dalam perang Badar. Kenapa umat Islam dengan kondisi fisik lemah karena sedang berpuasa justru mendapatkan kemenangan dengan telak? Hal ini disebabkan oleh lonjakan spiritualitas hingga melahirkan kekuatan.
Eksodus bangsa Yahudi dari Mesir di akhir milenium ke-2 Sebelum Masehi yang dipimpin oleh Musa telah menjebak keturunan Ibrahim dari garis Ishak ini di sebuah dataran padang pasir selama 40 tahun. Selama ini juga, telah terkumpul hukum-hukum yang harus dijalankan oleh bangsa Yahudi yang kemudian disebut sebagai Torah atau Taurat.
Salah satu hukum yang ditetapkan oleh Musa selama terjebak di dataran Thih yaitu mengetatkan pola makan, berpuasa dari mengonsumsi daging, dan berpuasa penuh tidak mengonsumsi makanan di waktu tertentu. Kelahiran hukum puasa melalui pengetatan pola makan justru telah meningkatkan daya spiritual bangsa Yahudi untuk memasuki tanah yang dijanjikan, Yerusalem.
Dari dua kisah di atas, puasa telah membawa perubahan bagi kelompok sosial masyarakat: Yahudi di era Musa dan Umat Islam di era kenabian. Perubahan sosial sebagai dampak dari praktik puasa ini terus berlanjut dari satu peradaban ke peradaban lain, dari satu milieu ke milieu berikutnya.
Perubahan sosial dari puasa dapat kita rasakan juga di Nusantara. Akomodasi ajaran Islam terhadap tradisi yang telah berkembang di masyarakat telah melahirkan asimilasi budaya dan tradisi. Selama bulan puasa, di awal perkembangan Islam, masyarakat Nusantara juga telah mengenal praktik menahan lapar dan dahaga dalam ritual tapa brata, upawasa, dan samadhi. Perbedaannya terletak pada tata caranya, konsep puasa Nusantara yaitu dengan menghindari kerumunan, melakukan penjarakan sosial (social distancing), menyepi, dan fokus dalam kontemplasi diri.
Sementara itu, praktik puasa dalam Islam karena berlandaskan pada fikih justru dapat dipraktikkan sambil tetap bekerja, melakukan aktivitas keseharian, dan tetap bersosialisasi. Secara perlahan, praktik puasa dalam Islam yang supel dan mudah dikerjakan ini mendapatkan respon positif dari masyarakat Nusantara. Mereka tetap menjalankan praktik puasa yang telah dicontohkan oleh leluhur, namun tidak lagi dikerjakan sambil duduk bersila dan menyendiri melainkan sambil tetap melakukan aktivitas seperti biasa.
Awal perubahan sosial selama bulan puasa di masyarakat Nusantara di masa penyebaran Islam yaitu kelahiran tradisi-tradisi sebelum, selama, dan sesudah puasa. Pasar tradisional menjadi lebih ramai selama bulan puasa, bagi masyarakat Islam awal, puasa sebagai praktik ibadah tahunan harus dihormati dengan menyajikan hidangan lebih istimewa dari hari-hari biasa.
Kita dapat membayangkan, bagaimana masyarakat Islam awal terbentuk dan masih membawa tradisi serta kebiasaan dari ajaran sebelumnya, sudah tentu dalam diri mereka diliputi oleh kebahagiaan. Menjelang sore, setiap rumah penduduk yang telah menganut Islam pada atapnya (suhunan) mengepulkan asap kayu bakar, mereka memasak berbagai penganan sebagai hidangan untuk buka puasa.
Koordinasi antara masyarakat yang telah mengkonversi keyakinan lama ke dalam Islam dengan masyarakat yang masih mempertahankan ajaran sebelumnya tetap terjalin. Perbedaan keyakinan ini biasanya terlihat antara orangtua dengan anak-anaknya, atau generasi pertama yang masih bertahan dengan keyakinan lama dengan generasi kedua yang telah berpindah agama. Namun secara perlahan, dengan praktik puasa selama bulan Ramadhan ini, ditambah dengan pembangunan rumah ibadah, langgar, dan masjid, telah meluluhkan generasi pertama untuk mengkonversi keyakinan.
Pelaksanaan salat tarawih di awal perkembangan Islam menjadi cara ampuh bagi para penyebar Islam dalam menawarkan ajaran ini kepada masyarakat. Dampak sosial dari salat tarawih ini telah melahirkan pandangan baru dari masyarakat : bahwa ajaran Islam memang sesuai dengan budaya Nusantara yang menjunjung ikatan sosial serta paguyuban.
Pertumbuhan dan perkembangan Islam disertai oleh perubahan sosial semakin membumikan ajaran Islam di Nusantara. Islam tidak sekadar dianut oleh orang-orang yang berada di pusat kekuasaan melainkan telah menyentuh tiga tatanan kehidupan: individual, komunal, dan institusional. Dan ini memerlukan waktu hingga 800 tahun lebih sampai ajaran Islam benar-benar diterima oleh masyarakat Nusantara.
Praktik puasa setiap bulan Ramadhan juga telah menciptakan berbagai tradisi yang multikultural di setiap pelosok. Dulu, bedug hanya ditabuh sebagai pertanda dimulainya peperangan, walakin alih-alih diposisikan sebagai penyulut pertikaian, para penyebar Islam dengan inovatif telah menjadikan bedug sebagai instrumen yang tidak dapat dipisahkan dengan langgar dan masjid. Bedug telah menjadi pertanda waktu buka puasa dan saat makan sahur berakhir, di samping sebagai pertanda memasuki waktu salat fardlu.
Kentongan atau kohkol digunakan sebagai media peringatan oleh para penyebar Islam ditempatkan sebagai pasangan bedug dengan ukuran lebih besar dari kentongan peringatan. Cara memukul kentongan serta menabuh bedug juga direkayasa sedemikian rupa untuk membedakan mana suara peringatan dan mana suara pengingat waktu salat.
Selain bedug dan kentongan, masyarakat Islam Nusantara juga mulai mengenalkan tradisi memeriahkan bulan puasa dengan menyulut bedil lodong. Tradisi ini memang berlangsung belakangan, namun dari sisi sejarah, bangsa Nusantara telah menghasilkan meriam-meriam berukuran besar melebihi meriam bangsa Eropa sebagai dampak dari perkembangan metalurgi. Dentuman suara bedil lodong memiliki fungsi serupa dengan suara bedug, sebagai pertanda memasuki waktu buka dan imsak.
Dampak besar perubahan sosial masyarakat Nusantara oleh praktik puasa yaitu munculnya semangat tepa selira. Bangsa Nusantara memiliki tipikal “merasa sebagai bangsa paling besar yang tak pernah terkalahkan”, pikiran ini muncul karena memang demikian adanya, orang-orang Nusantara Kuno pernah mengalami masa kejayaan. Semangat hidup bagi mereka hanya dua: mahardika atau pralaya. Terma “kalah” tidak pernah dikenal di dalam kehidupan para leluhur Nusantara.
Dengan puasalah, para penyebar Islam mulai mengenalkan konsep “mengalah”, mengembalikan segala masalah kepada Allah atau “Ngallah”. Kolonialisasi oleh Belanda berlangsung sangat lama di Nusantara disebabkan oleh faktor mentalitas bangsa Nusantara memang tidak pernah mau mengakui “bangsa asing” sebagai tuan bagi mereka. Orang-orang asing sehebat apa pun tetap ditempatkan pada lapisan kelas sosial ke-6 dalam sistem sosial Nusantara. Mentalitas ini terus muncul dan digaungkan kembali d masa perjuangan melalui semboyan: Merdeka atau Mati! Melalui puasa, para penyebar Islam mulai memperkenalkan konsep sufisme kepada masyarakat Nusantara.
Dalam hal ini, puasa telah membawa perubahan besar dalam memberi bentuk baru kepada masyarakat Nusantara. Melatih kesabaran, penguatan mental, dan membawa masyarakat untuk lebih melihat ke dalam dari pada harus didikte oleh hal-hal yang ada di luar diri mereka.
Para founding fathers negara ini, pada akhirnya memproklamasikan kemerdekaan negara ini bertepatan pada tanggal 9 Ramadhan 1364 H, mereka memandang, bulan Puasa sebagai bulan penguatan identitas dan kemandirian sebuah kelompok sosial masyarakat. Sejak era kemerdekaan hingga sekarang, setelah melewati masa ratusan tahun di Nusantara, puasa dan tradisi-tradisi yang menyertainya terus mengalami perkembangan. Sesuai dengan maknanya, puasa berarti menahan, hanya sebuah masyarakat yang tangguh dan kokohlah yang akan terus bertahan serta mempertahankan identitasnya di setiap pergeseran dan pergerakan zaman.
Kang Warsa
Posting Komentar untuk "Puasa dan Perubahan Sosial"