Lintang Kemukus Dini Hari, Srintil, dan Pentas Kehidupan Manusia (1)


Lintang Kemukus, sumber gambar: Kompas

Saya membaca Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk sekitar dua dekade lalu ketika masih belajar di SLTA. Ahmad Tohari, penulis novel ini, benar-benar dapat menarasikan dan mendeskripsikan –bukan hanya suasana alam perdesaan di tahun 60-an– juga telah mampu menghadirkan kondisi sosial kultural masyarakat perdesaan dengan detail dan jernih. Polos, lugu, mengalir dan menafsirkan “keberadaan” sebagaimana apa adanya.

Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk telah ditayangkan dalam sebuah film pada tahun 2011. Awalnya, masyarakat modern yang telah terjebak dalam dualitas penilaian mempermasalahkan apakah Sang Penari sebagai eufimisme dari kata Ronggeng layak dipertontonkan di masyarakat kita yang sedang mengalami euforia keberagamaan.

Walakin, Sang Penari lulus sensor dan dapat ditonton oleh masyarakat pecinta film. Harus diakui, sampai saat ini, masyarakat kita yang mulai dihinggapi rasa percaya diri berlebihan terhadap kebenaran tunggal sering memandang hiburan bukan lagi sebagai hiburan.

Bagi saya sendiri, menyadur sebuah karya besar seperti Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk ke dalam sebuah film merupakan pekerjaan yang sangat sulit. Frame dalam sebuah film dengan durasi satu jam lebih akan mengalami kesulitan menampilkan isi tiga jilid buku secara utuh. Orang yang telah membaca Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk dapat saja merasa kecewa beberapa saat setelah menonton Sang Penari.

Bagi saya, Lintang Kemukus Dini Hari merupakan bagian paling penting dibandingkan kedua buku lainnya. Babak dan alur kehidupan Srintil dimulai dari sini. Ignas Kleden menyebutkan Ronggeng Dukuh Paruk bukan sekadar karya sastra, trilogi ini bermakna simbolik sebagai sebuah esai politik yang panjang namun menyentuh hati.

Perjalanan hidup Srintil, gadis muda, seorang ronggeng dari Dakuh Paruk oleh orang-orang modern seperti kita yang kerap memberikan penilaian terpolarisasi akan memandang seorang ronggeng merupakan perempuan murahan. Tetapi, dengan tanpa pretensi berlebihan, bagi masyarakat Dukuh Paruk dan Dawuan, Srintil justru merupakan perempuan pembangkit, pemberi semangat hidup. Tanpa ronggeng dan suara tetabuhan, Dukuh Paruk dengan para penduduknya yang polos itu merupakan tunggul mati tanpa pucuk daun.

Bukan hanya kita, masyarakat modern, orang-orang yang telah mengenyam pendidikan modern pada tahun 60-an, seperti istri para pembesar yang disebutkan dalam Lintang Kemukus Dini Hari tidak dapat menyembunyikan sikap iri atas kehadiran Srintil. Para istri pembesar itu sangat risih kehadiran seorang ronggeng dapat mengalahkan pamor mereka di mata para suaminya.

Mereka, istri-istri para pembesar Dawuan itu memiliki anggapan yang sama dengan Rasus, seorang pemuda teman sepermainan Srintil ketika masih kecil yang memandang Srintil sebagai perempuan milik Dukuh Paruk, perempuan milik semua kaum lelaki. Bagi Rasus, memiliki Srintil sama artinya dengan menculiknya dari orang Dukuh Paruk. Rasus tidak ingin merenggut kebahagiaan orang-orang Dukuh Paruk.

Srintil sendiri sebetulnya tidak pernah memiliki pikiran demikian, keberadaan dirinya, kehadirannya sebagai seorang ronggeng semata-mata sebagai sebuah titisan yang tidak dapat dielak atau ditolak. Bagi para penabuh ronggeng seperti Sakum, kehadiran kembali sang ronggeng tidak hanya menghidupakan kembali panggung pementasan, juga telah memulihkan denyut nadi kehidupan masyarakat Dukuh Paruk.

Lintang Kemukus Dini Hari adalah sebuah narasi besar tentang hijau ranau dan keasrian alam perdesaan yang menyelimuti kondisi sosial masyarakatnya. Sebuah masyarakat nir-politis namun selalu dijadikan obyek dan komoditas politik praktis atas nama kesejahteraan.

Dalam perjalanan hidupnya, Srintil bukan hanya berperan sebagai seorang ronggeng terkenal, ia juga harus tampil sebagai perempuan tangguh dalam menghadapi tawaran kebaikan dari para lelaki yang ingin memperistrinya. Menolak tawaran kebaikan dari lelaki yang hanya sekadar memburu tubuh sintalnya, sama halnya dengan membangun sebuah benteng yang harus siap diserang dari berbagai arah.

Marsusi, seorang lelaki yang ditolak oleh Srintil menganggap penolakan itu sebagai sebuah tantangan. Beberapa kali Srintil jatuh pingsan di atas panggung karena diserang oleh Marsusi dari kejauhan. Sebuah serangan yang biasa dilakukan oleh masyarakat saat itu dengan menggunakan ilmu tenung dan santet.

Tawaran kebaikan bukan hanya dari para lelaki berwatak dan berotak mesum, datang juga dari seorang pemilik perkebunan dari Alaswangkal. Srintil ditawari oleh pemilik perkebunan menjadi seorang gowok untuk anaknya. Sebagai gowok, Srintil harus memberikan pelajaran tentang kehidupan berumah tangga kepada anak laki-laki Santika yang sudah menginjak dewasa, tetapi memiliki masalah kelelakian.

Dalam menjalankan tugasnya, Srintil mengalami kegagalan dan sangat menyesalinya. Anak Santika, lelaki yang kehilangan kelelakiannya itu benar-benar wujud keprihatinan diri Srintil juga, ia benar-benar berharap agar kodrat perempuannya dapat dipersembahkan untuk Rasus, bukan untuk para lelaki yang tidak dicintainya. Pergolakan batin Srintil tampak sangat kuat di antara dua pilihan, melepaskan Rasus atau mencarinya hingga dia dan pemuda itu benar-benar dapat mewujudkan harapan dan janji mereka saat kecil di bawah sebuah pohon randu di pinggir perkampungan.

Rongeng dan Hiburan Rakyat

Politik praktis dan propaganda yang menyertainya tampak sering mengelabui orang-orang yang lugu dan polos dari kepentingan. Srintil dan rombongan ronggengnya telah terjebak dan terlibat dalam kegiatan politik partai komunis yang sedang berada di ujung keruntuhan.

Mereka, orang-orang tuna politis, masyarakat yang tidak mengerti bagaimana menduduki kekuasaan apalagi merebutnya dari orang lain. Orang-orang yang selalu dibuai bujuk rayu dan kamuflase kesejahteraan itu pada akhirnya benar-benar menjadi korban kekejian pihak lain. Orang-orang Dukuh Paruk ditangkap dan dipenjara padahal mereka sama sekali tidak mengerti apa-apa. Dukuh Paruk, perkampungan hijau ranau itu, tempat Srintil dan Rasus berlari-lari di pematang sawah telah mewujud menjadi api membara.

Sepanjang sejarah kehidupannya, masyarakat Dukuh Paruk merupakan kelompok sosial yang sama sekali tidak pernah memahami politik dan ideologi apapun. Mereka hanya mengenal ronggeng tanpa pretensi apapun. Rongeng ya ronggeng tanpa harus diembel-embeli oleh propaganda kesenian sebagai corong kesejahteraan rakyat. Ronggeng tetaplah seni bukan media yang dapat ditempeli pamflet bertuliskan “sama rata, sama rasa”. Kesenian tidak dapat dipertukarkan dan diperjualbelikan dengan slogan manis berkedok kebaikan. Ia harus mengalir sebagaimana adanya.

Lintang Kemukus dan Mitos yang Menyertainya

Lintang Kemukus atau Komet Atlas yang melintas di cakrawala telah diyakini sebagai pertanda kemunculan huru-hara di dalam tradisi Jawa. Bukan hanya orang-orang Jawa, hampir setiap masyarakat Nusantara memiliki pandangan keterkaitan simbolik antara kehidupan dengan benda-benda langit. Suasana perdesaan berbeda dengan alam kehidupan di perkotaan. Itulah sebabnya, Ahmad Tohari begitu berhasil mendeskripsikan suasana alam perdesaan, pikiran, dan kondisi sosial budaya yang menyertainya.

Orang-orang desa dipandang sebagai komunitas tradisional lebih dekat dengan entitas sakral mistis. Peristiwa alam dan sosial sering dihubungkan dengan berbagai simbol penyebannya. Pengkodean (coding) yang sudah menjadi keseharian manusia modern sebetulnya telah lama dipraktikkan oleh masyarakat tradisional perdesaan. Mereka meyakini satu hal: alam sebagai ayat Tuhan diliputi oleh berbagai pertanda, hanya orang-orang yang berhati bening yang dapat menginterpretasikan ayat-ayat ini dalam bentuk tindakan preventif.

Tidak berbeda dengan masyarakat Nusantara, Eropa abad pertengahan juga sering menghubungkan peristiwa alam dengan kemunculan wabah, penyakit, pageblug, dan bencana besar kemanusiaan. Kemunculan awan hitam di perairan Mediterania pada abad ke-14 diterjemahkan sebagai pertanda kemunculan wabah dan bencana yang kelak dialami oleh masyarakat Eropa. Beberapa tahun kemudian, Black Death, maut hitam menjangkiti Eropa, sebuah wabah yang telah menurunkan jumlah populasi orang-orang Eropa saat itu.

Lintang Kemukus terlihat pada dini hari tanggal 18 September 1965 menjadi pertanda peristiwa besar, pemberontakan terhadap kekuasaan yang sah oleh Partai Komunis Indonesia. Peristiwa tersebut telah memunculkan serangkaian peristiwa lain yang lebih tragis dari sekadar pemberontakan yaitu anak bangsa jatuh ke dalam pertikaian, konflik horizontal, pembantaian, dan saling curiga.

Lintang Kemukus Dini Hari adalah aliran kecamuk dan pergolakan batin Seorang Srintil; mengharu biru, kepedihan, kesedihan, sekaligus romantis. Sebuah tragedi yang selalu membersamai kehidupan manusia sejak fajar sejarah dipentaskan di pelataran Kurusetra dan kawah Candradimuka. Setiap manusia sedang memetik karmanya sendiri sebelum mereka kembali kepada Dia yang senantiasa menempatkan titik embun pada kuncup bunga.

Kang Warsa | Dimuat Harian Radar Sukabumi 2 Januari 2020

Posting Komentar untuk "Lintang Kemukus Dini Hari, Srintil, dan Pentas Kehidupan Manusia (1)"