Tulisan ini dipublikasikan oleh Radar Sukabumi menjelang Imlek 2572 (Tahun 2021).
Berbeda dengan Imlek tahun 2020 yang diperingati secara meriah di setiap wilayah tanpa kecuali di Kota Sukabumi. Peringatan Tahun Baru Imlek di tahun ini diisi dengan kegiatan-kegiatan sederhana oleh masyarakat Tionghoa karena bersamaan dengan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berskala Mikro atau PSBB Proporsional.
Meskipun diperingati secara sederhana, Tahun Baru Imlek 2572 bagi siapa saja merupakan momentum yang tepat untuk merenungi kembali kehidupan dan bagaimana masyarakat Tionghoa dapat mengembalikan kembali nilai-nilai warisan leluhur mereka agar membumi dalam kehidupan.
Tradisi Cap Go Meh memang merupakan kemeriaahan dalam gemerlap pentas-pentas budaya dan tradisi seperti; menghiasi jalanan dengan taburan lampion, memeringatinya dengan menggelar pertunjukan barongsai, berbagi bingkisan dan angpao, serta kemeriahan lainnya. Hanya saja, jika dicermati secara saksama, kultur yang mengendap dalam kehidupan masyarakat Tionghoa sebagai warisan dari leluhur mereka adalah kesederhanaan dalam hidup.
Taoisme, misalnya, yang dikemukakan oleh Lao Tzu, kemudian dikodifikasikan dalam sebuah kitab bertajuk I-Ching dipenuhi oleh ajaran bagaimana seharusnya manusia menghadapi hidup yang sederhana ini secara sederhana juga. Jalan kehidupan para penganut Taoisme yaitu menjalali pola hubungan yang harmonis dengan alam dan lingkungan.
Kesederhanaan dalam hidup, seperti halnya peringatan Tahun Baru Imlek 2572 Kongzili, memang telah menjadi urat nadi kehidupan sosial komunitas Tionghoa sejak Taoisme menyebar dan dianut oleh kebanyakan orang Tionghoa. Berkumpul bersama keluarga di masa pandemi dalam memeringati Imlek harus dipandang sebuah harmonisasi antar anggota keluarga sebagai bagian terkecil dari semesta raya.
Berkumpul bersama keluarga, menyepi, merenungi kehidupan, berkontemplasi dalam memeringati Imlek 2572 Kongzili di masa pandemi dapat menjadi sebuah praktik ajaran Lao Tzu.
Taoisme menekankan penarapan kesederhanaan hidup, berorientasi pada sikap dan tindakan primitif, mengenyahkan rasa kompulsif terhadap materialisme, menekankan pendekatan batiniyah untuk mewujudkan kebahagiaan hidup. Sudah sepantasnya, ajaran-ajaran tersebut mengejawantah pada peringatan Imlek tahun ini.
Etika Tao yang Diabaikan
Dalam membaca, mencerna, memahami, dan menilai sejarah kita memang diharuskan bersikap jujur. Awal penyebaran virus korona di Wuhan, menjelang peringatan Imlek tahun lalu, meskipun wacana yang berkembang disebabkan oleh kebocoran senjata biologis dan informasi tidak benar tentang produksi senjata biologis oleh pemerintah Tiongkok, justru disebabkan oleh semakin tergerusnya etika Tao dalam kehidupan masyarakat Tionghoa di Wuhan.
Mereka telah mengiblatkan diri pada etika Barat yang baru berkembang empat abad lalu daripada mengindahkan ajaran leluhur mereka tentang kesederhanaan dalam hidup.
Penjualan satwa-satwa liar di pasar hewan di Wuhan merupakan sikap yang berseberangan dengan etika Tao yang menekankan harmonisasi antara manusia dengan alam termasuk di dalamnya binatang.
Kelelawar sebagai inang pembawa virus korona dikonsumsi oleh beberapa orang masyarakat Wuhan telah mempercepat evolusi dan mutasi virus.
Memang tidak ada yang salah dengan perubahan sikap demikian, sebab dalam pandangan Lao Tzu atau Si Guru Tua, evolusi dan mutasi virus dari inangbya selanjutnya menempati habitat baru di tubuh manusia merupakan jawaban dari alam agar kehidupan tetap seimbang. Maknanya, perbuatan manusia sendiri harus dibayar sebanding dengan akibat yang diterima oleh manusia.
Bagi manusia, Covid-19 yang sudah berlangsung satu tahun lebih ini sering dipandang sebagai sebuah bencana. Ia bukan sekadar telah meluluhlantakkan kesehatan dunia, juga berdampak pada setiap bidang kehidupan.
Tetapi harus diakui, jika dipandang secara utuh, ketika manusia menafsirkan peristiwa yang tidak diharapkan sebagai sebuah bencana, pada sisi lain sedang berlaku hukum alam agar kehidupan tetap berada pada kondisi yang seimbang.
Bencana sebagai unsur Yin, satu sisi negatif, merupakan peralihan dari unsur Yang sebagai unsur positif setelah sebelumnya dirakayasa oleh manusia. Tindakan manusia sendiri yang telah mempercepat alam mengatur dirinya sendiri dengan hukum-hukumnya.
Etika leluhur yang mulai ditinggalkan ini berbanding lurus dengan semangat antrophosentris, saat manusia memandang dirinya sebagai pusat kehidupan.
Jika ajaran Tao memandang alam sebagai sekawan dengan manusia, di era sekarang manusia – dengan kemajuan berpikirnya – cenderung memandang alam sebagai sasaran eksploitasi.
Manusia telah menjelma menjadi virus dan parasit bagi alam, selanjutnya alam mempersembahkan virus bagi manusia. Rasanya sudah sangat setimpal antara apa yang dilakukan oleh manusia yang telah menjelma menjadi parasit dengan apa diterima oleh manusia sebagai parasit juga.
Peringatan Tahun Baru Imlek 2572 Kongzili merupakan tonggak kesadaran baru bagi masyarakat Tionghoa bagaimana dapat mengembalikan, membumikan , dan mentraformasikan nilai-nilai kehidupan yang telah ditawarkan oleh Lao Tzu. Bukan hanya untuk masyarakat Tionghoa, juga bagi manusia seluruhnya.
Bersikap sederhana, mematuhi hukum-hukum yang telah disediakan oleh alam, dan memperlakukan alam sebagai sekawan dalam kehidupan akan mendapat balasan setimpal dari alam berupa unsur Yang atau hal-hal yang dipandang positif oleh manusia.
Imlek, Wu Wei, dan Sunnatullah
Memeringati Tahun Baru Imlek dengan sikap banyak berdiam, merenung, dan menghentikan pesta perayaannya merupakan penerapan Wu Wei, sebuah ajaran tentang stagnasi diri terhadap riak-riak emosi dan keinginan kompulsif.
Wu Wei dapat dimaknai mengalir sebagaimana adanya, tanpa dihinggapi oleh pretensi, obsesi kompulsif, merasa rugi karena peringatan Imlek tanpa perayaan, meng-nol-kan piranti lunak dan keras dalam diri. Sama halnya dalam tradisi umat Islam ketika menyambut Idul Fitri, kembali kepada fitrah azali, factory reset, kembali ke semula.
Memandang Wu Wei memang logis dan dapat diterima akal. Sikap mengalir dan mendiamkan diri untuk tidak bergerak adalah cara terbaik bagi manusia membiarkan alam mengerjakan dan memperbaharui dirinya sendiri.
Polusi, pemanasan global, pembalakan liar, kebakaran hutan, eksplotasi alam, hingga perang sesama manusia dilakukan oleh manusia-manusia yang tidak dapat mendiamkan dirinya. Sikap reaktif dan ingin serba ini justru telah mempercepat alam dan kehidupan manusia pada kutub Yin.
Manusia harus berusaha melawan aku sebagai mahluk yang menempati piramida tertinggi rantai makanan dan merasa paling berkuasa terhadap segala sesuatu atas kemampuanku.
Manusia harus memilih mengalir hidup bersama alam, tidak melawan dinamika alam, dan mematuhi hukum-hukum alam yang terjadi. Dalam tradisi Islam, sunnatullah diyakini sebagai pengatur kehidupan yang harus dipatuhi.
Sunnatullah sebagai Hukum Tuhan di dunia ini jika dilanggar oleh manusia akan membentuk karakter-karakter negatif. Pertama, kafir, seolah melakukan perbaikan dan reformasi terhadap alam, padahal mengeruk alam sedemikian rupa.
Kedua, munafiq, hipokrit, berpura-pura melakukan kebaikan namun disertai pamrih sekadar untuk menempati panggung popularitas.
Ketiga, fasiq, terbiasa merusak alam namun tetap melakukannya. Bagi manusia fasiq, perbuatan yang sebenarnya merusak alam dan lingkungan akan dikilah sebagai bukan keburukan.
Lao Tzu pernah mengatakan kalau ingin menangkap ayam, jangan dikejar. Kita akan lelah dan ayam pun makin menjauh. Berikanlah ia beras dan makanan, nanti ia datang dengan rela.
Seperti itulah kehidupan, melangkahlah dengan baik, jangan terlalu mengejar, ngotot memburu, kita akan lelah tanpa hasil.
Kalau ingin memelihara kupu-kupu, jangan menangkap kupu-kupu, pasti ia akan terbang. Tetapi tanamlah bunga, maka kupu-kupu akan datang sendiri dan membentangkan sayap-sayapnya yang indah.
Pepatah Lao Tzu ini merupakan perpanduan dua polaritas Yin dan Yang, memberi dan menerima. Semakin banyak kita memberi, akan semakin banyak kita menerima. Semakin banyak kita berdiam diri (Wu Wei), akan semakin banyak kita diliputi oleh pancaran semesta.
Posting Komentar untuk "Imlek dan Kesederhanaan Hidup"