Ukiran ikan julung beriring, dalam terma masyarakat Sunda disebut ikan julung-julung, terlihat jelas pada atap Balai Kota Sukabumi. Tepat pada ujung “wuwung” bangunan yang didirikan oleh Mr. Knaud ini, ukiran ikan julung-julung kendati terlihat jelas namun tidak semua orang dapat melihatnya langsung jika tidak diamati secara mendalam terlebih dahulu.
Bagi para penganut iluminasi, dapat saja ukiran artdeco pada ujung atap Balai Kota Sukabumi bukan gambar ikan julung-julung melainkan ilustrasi Dewa Atargitis, salah satu simbol dewa ikan yang dipuja oleh orang-orang Filistin dan Semit. Bagi para penganut iluminasi, simbol-simbol yang pernah dugunakan oleh masyarakat kuno dipandang sebagai pemantik kekuatan magis yang harus dihadirkan dalam gerakan bawah tanah.
Alasan para arsitek Belanda menyematkan simbol-simbol iluminasi pada setiap bangunan di negara ini akan saya paparkan dalam tulisan terpisah. Secara sederhana, sejak era kolonialisme hampir tidak ada celah kosong yang tidak luput dari gerakan kaum iluminasi.
Sebagian pihak merasa khawatir terhadap kehadiran gerakan ini, namun secara pribadi, saya tidak pernah mengkhawatirkan gerakan bawah tanah yang sudah tidak menjadi gerakan rahasia lagi di masa kini.
Masa kini hanya menyisakan bayang-bayang gerakan kaum iluminasi, bahkan cenderung menghantui pihak yang selalu merasa risi dan takut terhadap kehadiran kelompok iluminasi ini.
Hantu yang mengintai para penakut tersebut tidak jauh berbeda dengan ikan julung-julung yang mulai mengalami penyusutan populasi, lantas saya khawatirkan keberadaannya benar-benar akan mengalami kepunahan dalam waktu dekat.
Ikan julung-julung masih dapat ditemui di perairan tawar dengan kualitas air yang masih baik. Kehadirannya menjadi bioindikator terhadap kualitas ekosistem sungai dan perairan tawar.
Tidak heran, saat saya kecil, sampai pertengahan tahun 1980-an, sungai-sungai di Sukabumi masih menjadi habitat yang baik ditempati oleh ikan dari familia gemiramphidae ini.
Populasi julung-julung terancam dan mengalami pengurangan ketika kualitas air sungai memburuk karena disesaki oleh polusi berasal dari limbah rumah tangga. Penggunaan detergen, sabun mandi, dan pengharum cucian menjadi faktor determinan yang telah merusak ekosistem sungai.
Polusi air juga disebabkan oleh pola hidup masyarakat perkotaan yang begitu mudah mengotori air dengan membuang sampah ke sungai. Produksi sampah rumah tangga berbanding terbalik dengan kesadaran masyarakat terhadap pengetahuan mereka terhadap upaya pelestarian lingkungan semakin memperparah pencemaran sungai.
Sampai duduk di bangku SMP, saya belum pernah mengalami hal mengerikan dalam hidup: melihat aliran sungai beraroma busuk, berwarna hitam pekat, dan menjijikan di kampung sendiri. Saya merasakan hal mengerikan ini ketika mengunjungi wilayah perkotaan saja.
Aliran sungai dari hulu ke hilir, dari wilayah padat penghuni ke sungai-sungai di perkampungan secara perlahan mulai merusak dan mematikan produsen makanan di air seperti algae, tumbuhan renik yang dikonsumsi oleh ikan-ikan air tawar. Kerusakan tumbuhan renik ini menjadi penyebab populasi ikan tertentu seperti julung-julung mengalami penyusutan.
Kenyataan ini memang ironi bagi para penganut agama dan keyakinan. Misalnya, kita sebagai muslim memahami benar konsep kebersihan sebagian daripada iman. Apalagi telah berani mengklaim diri kita sebagai khalifah atau pelestari bumi namun sungguh bertolak belakang dengan apa yang telah kita perbuat.
Dosa terbesar umat manusia bukan lagi karena telah memfitnah sesama, meninggalkan salat, dan ritual-ritual lainnya melainkan telah melakukan tindakan paling ceroboh namun terabaikan seperti merusak ekosistem air, membunuh ganggang, dan memusnahkan populasi ikan air tawar demi alasan yang sulit diterima nalar.
Ukiran ikan julung-julung di ujung atap Balai Kota Sukabumi tidak akan saya beri makna sebagai ilustrasi Dewa Atargitis melainkan sebuah pesan masa lalu bahwa wilayah Sukabumi ini awalnya merupakan habitat yang baik bagi ikan julung-julung.
Generasi kita telah dibutakan oleh cara pandang keliru tentang inti ajaran agama. Kita terlena oleh buaian isi ceramah tentang kebaikan, cara beramal baik, cara masuk surga, dan cara merajuk Tuhan namun sikap dan tindakan kita sangat kosong dan hampa dari kebaikan yang dapat diterima oleh makhluk lain.
Saya, kalian, dan kita sulit bertobat karena enggan mengakui secara sukarela telah menjadi bagian besar dari kelompok munafik perusak alam namun masih tetap mengklaim sedang berbuat kebaikan, menjaga bumi, merawat kehidupan, dan menjaga alam.
Kelangkaan ikan julung-julung merupakan permulaan kepunahan makhluk lain karena perbuatan manusia. Kerusakan ini akan terus berlangsung dan satu persatu akan dibuktikan oleh peristiwa alam sebagai akibat dari keengganan manusia dalam mengakui dosa besarnya, merusak alam tetapi dengan tidak malu pandai berkhutbah tentang hablun minal alam (hubungan manusia dengan alam).
Posting Komentar untuk "Ikan Julung-Julung, Riwayatmu Kini"